Konsep Neolib tidak cocok bagi semua orang itu jelas. Itu cocok untuk yang manja, yang malas, yang tak brani bersaing, lemah, dst. Konsep Neolib hanya cocok untuk yang mau kerja keras, brani saingan, brani kalah, brani ambil resiko. Tidak cocok untuk merekayg lemah, mengandalkan proteksi, manja, malas, gentar bersaing, tak brani ambil resiko.
Persoalan berikut adalah bahwa tidak selamanya negara mampu intervensi. Misalnya intervensi agar valas sekian. Itu tidak selalu bisa dilakukan, tergantung kekuatan pasar. Demikianpun negara menetapkan tarif barrier akan mengundang tindak balasan dari negara lain sedemikian rupa sehingga ekspor kita terkendala. Penetapan UMR adalah salah satu bentuk campur tangan pemerintah yang membebani pihak lain. Misalnya pekerja2 kontraktor Pertamina minimal sekian. Kontraktor akan membebankan kepada Pertamina dan Pertamina akan minta subsidi lebih banyak. Akibatnya dana untuk pendidikan misalnya, harus dikorbankan. There is no free lunch. Untuk melakukan intervensi negara membutuhkan biaya dan tidak selalu murah.
Singkatnya dampak dari penolakan atas Neolib adalah
1. Untuk jangka panjang membentuk bangsa yang malas, manja, lemah, pecundang, pengecut, tak mampu bersaing, selalu minta subsidi dan proteksi, serta tidak mandiri. Pada gilirannya akan senantiasa diinjek2 bangsa lain.
2. Negara tidak selalu mampu menjalankan tugasnya karena tekanan2 dan tindak balasan jika negara menolak.
3. There is no free lunch, setiap intervensi selalu ada biayanya. Pada akirnya negara yang terbatas keuangannya akan kelimpungan sendiri.
4. Regulasi sangat tergantung kompetensi personel2 negara. Yang tak becus bukannya mengatur tetapi mbalah bikin tambah keruh.
Saya membuktikan sendiri, saya sendirian melawan perusahaan2 asing dan bukan sekedar mampu bertahan tetapi mampu lebih baik dari mereka. Dikandang bisa, keluar kandangpun saya tlah keluyuran kemana2 dan terbukti mampu bersaing. Kalo saya bisa kenapa bangsa kita ndak bisa? Kita lihat, banyak teman2 kita yang mampu bekerja dimancanegara, mulai dari TKW/TKI, pakar, dll. itu bukti nyata bahwa bangsa kita mampu bersaing dalam pasar bebas. Belum Soto bangkong, Teh Sosro, rokok2, bedak Viva, dll, yang mampu saingan dengan pendatang.
Suka tidak suka, mau tidak mau neolib akan datang. Tak perlu tatut tak perlu gentar, ucapkan selamat datang kepada NeoLib. Tidak perlu merengek2 manja mintak proteksi dan subsidi. Siapkan saja bangsa kita untuk bersaing dengan siapa saja kapan saja. Kalo saya dan teman2 yang lain bisa, kenapa yang lain tak bisa. Tak perlu tatut, tak perlu gentar, tak perlu panik, tak perlu stress. Hadapi saja, kenapa?
Disisi lain, kita tidak bisa ujug2 jegagik lantas dicemplungkan dalam free fight. Sikit demi sikit, setapak demi setapak kita akan, mau tidak mau suika tidak suka, menuju NeoLib. Langkah2 ini sudah dimulai sejak jaman HMS melalui swastanisasi, privatisasi, deregulasi, rejim devisa bebas, dll. Terjadi proses evolusi. Bukan revolusi, harus setapak demi setapak ibarat dari tingkat TK, SD, SMP, ... dst.
Persoalan berikut adalah bahwa tidak selamanya negara mampu intervensi. Misalnya intervensi agar valas sekian. Itu tidak selalu bisa dilakukan, tergantung kekuatan pasar. Demikianpun negara menetapkan tarif barrier akan mengundang tindak balasan dari negara lain sedemikian rupa sehingga ekspor kita terkendala. Penetapan UMR adalah salah satu bentuk campur tangan pemerintah yang membebani pihak lain. Misalnya pekerja2 kontraktor Pertamina minimal sekian. Kontraktor akan membebankan kepada Pertamina dan Pertamina akan minta subsidi lebih banyak. Akibatnya dana untuk pendidikan misalnya, harus dikorbankan. There is no free lunch. Untuk melakukan intervensi negara membutuhkan biaya dan tidak selalu murah.
Singkatnya dampak dari penolakan atas Neolib adalah
1. Untuk jangka panjang membentuk bangsa yang malas, manja, lemah, pecundang, pengecut, tak mampu bersaing, selalu minta subsidi dan proteksi, serta tidak mandiri. Pada gilirannya akan senantiasa diinjek2 bangsa lain.
2. Negara tidak selalu mampu menjalankan tugasnya karena tekanan2 dan tindak balasan jika negara menolak.
3. There is no free lunch, setiap intervensi selalu ada biayanya. Pada akirnya negara yang terbatas keuangannya akan kelimpungan sendiri.
4. Regulasi sangat tergantung kompetensi personel2 negara. Yang tak becus bukannya mengatur tetapi mbalah bikin tambah keruh.
Saya membuktikan sendiri, saya sendirian melawan perusahaan2 asing dan bukan sekedar mampu bertahan tetapi mampu lebih baik dari mereka. Dikandang bisa, keluar kandangpun saya tlah keluyuran kemana2 dan terbukti mampu bersaing. Kalo saya bisa kenapa bangsa kita ndak bisa? Kita lihat, banyak teman2 kita yang mampu bekerja dimancanegara, mulai dari TKW/TKI, pakar, dll. itu bukti nyata bahwa bangsa kita mampu bersaing dalam pasar bebas. Belum Soto bangkong, Teh Sosro, rokok2, bedak Viva, dll, yang mampu saingan dengan pendatang.
Suka tidak suka, mau tidak mau neolib akan datang. Tak perlu tatut tak perlu gentar, ucapkan selamat datang kepada NeoLib. Tidak perlu merengek2 manja mintak proteksi dan subsidi. Siapkan saja bangsa kita untuk bersaing dengan siapa saja kapan saja. Kalo saya dan teman2 yang lain bisa, kenapa yang lain tak bisa. Tak perlu tatut, tak perlu gentar, tak perlu panik, tak perlu stress. Hadapi saja, kenapa?
Disisi lain, kita tidak bisa ujug2 jegagik lantas dicemplungkan dalam free fight. Sikit demi sikit, setapak demi setapak kita akan, mau tidak mau suika tidak suka, menuju NeoLib. Langkah2 ini sudah dimulai sejak jaman HMS melalui swastanisasi, privatisasi, deregulasi, rejim devisa bebas, dll. Terjadi proses evolusi. Bukan revolusi, harus setapak demi setapak ibarat dari tingkat TK, SD, SMP, ... dst.
0 komentar:
Post a Comment