Teman saya, sebut saja Jim, juara MM. Ia abilitynya bagus, sayangnya sebatas ability akademis; ia kurang mengindahkan ability-jalanan. Dipikirnya kecakapan akademis sudah cukup. Padahal dalam bekerja ilmu yang dipakai tak lebih dari 2%. Motivasinya bagus, sayangnya sikapnya kurang bagus. Suka menggampangkan. Bekerja tidak tuntas. Loncat sana loncat sini. Idenya muluk2 dan mbèl gèdès. Yang satu belum selesai sudah mengerjakan yang lain. Sekarang ia hanya dosen honorer. Ngajar kesana kemari.
Teman SMU saya Jack hebat. Saya menyelesaikan aljabar dalam 12 langkah, 0.5 jam. Ia cukup 10 langkah, 15-20 menit. Tetapi sikap kerjanya payah. Sikapnya masih seperti ketika ia masih SMU. Ia léda lédé, suka menggampangkan. Ia tidak serius dalam mengerjakan apapun. Motivasinya memble. Ia kena PHK dan coba2 wiraswasta tetapi dengan sikapnya yang léda lédé, .... bablas. Ia hutang saya sekian juta dan tak pernah muncul lagi.
Kawan saya, John, adalah bintang kelas. Orangnya lugu. Ia menjalani kehidupan dan tidak neko2. Motivasinya sangat lemah, ia suka nrimo ing pandóm. (menerima pemberian) dan Sadermo Nglakoni – sekadar menjalani kehidupan. Ia praktis tidak mengembangkan ability yang lain karena ia tidak merasa perlu. Karirnya merangkak dan ia bisa menjadi kepala divisi Mechanical & Electrical. Tetapi ia berada diposisi yang salah. Ia harus berkompetisi, harus menjual, harus ikut tender, harus negosiasi dengan pelanggan dan pemasok. Dengan pembawaannya yang lugu, ia kesulitan mendapatkan proyek. Ia sama sekali tidak sombong, bahkan rendah hati. Tetapi ia berada di garda depan, sebuah posisi bagi orang2 yang seharusnya punya naluri ‘membunuh’. Ia terlalu lembut untuk itu. Ia tidak terbiasa ‘berlaga’. Ia tidak tahu bagaimana caranya menyuap & memelintir supplier. Ia tidak menyadari bahwa posisinya menuntut perubahan sikap. Lama kelamaan divisinya ditutup karena tidak menghasilkan apa2. Rugi. Sekarang, dalam usianya yang tidak muda lagi, ia merangkak dari bawah lagi.
Jim bermotivasi tinggi dan cerdas tetapi ia sama sekali mengabaikan sikap. Jack tidak berubah sikapnya, sama seperti ketika ia masih SMU dan motivasinya memble. John dengan motivasinya yang sangat lemah tidak memiliki bahan bakar yang cukup untuk merubah sikapnya. Ia nrimo. Ia di PHK nrimo. Sekarang dengan kantor lusuh tanpa AC ia nrimo. Padahal, ia mampu memecahkan soal2 yang bikin kita pingsan.
Kini kita pahami bahwa ketiga faktor itu tidak statis. Ability, idealnya berkembang dengan kenaikan usia. Ketiga contoh diatas kurang menyimak ability ‘jalanan’. Attitude harus berubah dengan perubahan posisi, situasi, dan kondisi. Kita tidak bisa bersikap sama bila memimpin 10 dengan 500 orang. Kiai Dur adalah contoh nyata. Ia masih dengan gaya pesantren di lembaga kepresidenan. Koloran, nglencer kesana kemari tidak jelas juntrungnya. Sikap Kiai Dur yang tidak berubah membuatnya tersungkur. Motivasipun juga tidak statis. Pada saat kita bayi, motivasi kita sebatas motivasi biologis yaitu butuh makan dan minum. Kemudian kita terdorong untuk dimotivasi akan kebutuhan akan rasa aman. Meningkat lagi menjadi kebutuhan akan cinta dan penghargaan. Jika motivasinya berkembang sehat, ia akan sampai pada tahap motivasi puncak – aktualisasi diri.
Jika begitu, rumus kita tidak lagi sahih karena FI tidak semata-mata fungsi n, tetapi juga fungsi ruang dan waktu. Jika begitu, rumusnya tambah komplex, menjadi rumus dinamis
Sukses = S { FE(n) + FI(n,r,t) + Fx(n) }
Teman SMU saya Jack hebat. Saya menyelesaikan aljabar dalam 12 langkah, 0.5 jam. Ia cukup 10 langkah, 15-20 menit. Tetapi sikap kerjanya payah. Sikapnya masih seperti ketika ia masih SMU. Ia léda lédé, suka menggampangkan. Ia tidak serius dalam mengerjakan apapun. Motivasinya memble. Ia kena PHK dan coba2 wiraswasta tetapi dengan sikapnya yang léda lédé, .... bablas. Ia hutang saya sekian juta dan tak pernah muncul lagi.
Kawan saya, John, adalah bintang kelas. Orangnya lugu. Ia menjalani kehidupan dan tidak neko2. Motivasinya sangat lemah, ia suka nrimo ing pandóm. (menerima pemberian) dan Sadermo Nglakoni – sekadar menjalani kehidupan. Ia praktis tidak mengembangkan ability yang lain karena ia tidak merasa perlu. Karirnya merangkak dan ia bisa menjadi kepala divisi Mechanical & Electrical. Tetapi ia berada diposisi yang salah. Ia harus berkompetisi, harus menjual, harus ikut tender, harus negosiasi dengan pelanggan dan pemasok. Dengan pembawaannya yang lugu, ia kesulitan mendapatkan proyek. Ia sama sekali tidak sombong, bahkan rendah hati. Tetapi ia berada di garda depan, sebuah posisi bagi orang2 yang seharusnya punya naluri ‘membunuh’. Ia terlalu lembut untuk itu. Ia tidak terbiasa ‘berlaga’. Ia tidak tahu bagaimana caranya menyuap & memelintir supplier. Ia tidak menyadari bahwa posisinya menuntut perubahan sikap. Lama kelamaan divisinya ditutup karena tidak menghasilkan apa2. Rugi. Sekarang, dalam usianya yang tidak muda lagi, ia merangkak dari bawah lagi.
Jim bermotivasi tinggi dan cerdas tetapi ia sama sekali mengabaikan sikap. Jack tidak berubah sikapnya, sama seperti ketika ia masih SMU dan motivasinya memble. John dengan motivasinya yang sangat lemah tidak memiliki bahan bakar yang cukup untuk merubah sikapnya. Ia nrimo. Ia di PHK nrimo. Sekarang dengan kantor lusuh tanpa AC ia nrimo. Padahal, ia mampu memecahkan soal2 yang bikin kita pingsan.
Kini kita pahami bahwa ketiga faktor itu tidak statis. Ability, idealnya berkembang dengan kenaikan usia. Ketiga contoh diatas kurang menyimak ability ‘jalanan’. Attitude harus berubah dengan perubahan posisi, situasi, dan kondisi. Kita tidak bisa bersikap sama bila memimpin 10 dengan 500 orang. Kiai Dur adalah contoh nyata. Ia masih dengan gaya pesantren di lembaga kepresidenan. Koloran, nglencer kesana kemari tidak jelas juntrungnya. Sikap Kiai Dur yang tidak berubah membuatnya tersungkur. Motivasipun juga tidak statis. Pada saat kita bayi, motivasi kita sebatas motivasi biologis yaitu butuh makan dan minum. Kemudian kita terdorong untuk dimotivasi akan kebutuhan akan rasa aman. Meningkat lagi menjadi kebutuhan akan cinta dan penghargaan. Jika motivasinya berkembang sehat, ia akan sampai pada tahap motivasi puncak – aktualisasi diri.
Jika begitu, rumus kita tidak lagi sahih karena FI tidak semata-mata fungsi n, tetapi juga fungsi ruang dan waktu. Jika begitu, rumusnya tambah komplex, menjadi rumus dinamis
Sukses = S { FE(n) + FI(n,r,t) + Fx(n) }
dimana r adalah ruang dan t adalah waktu.
Wah, kok tambah ruwet ? Begitulah kenyataannya. Menjadi sukses gampang diucapkan tetapi dibalik itu banyak sekali faktor2 yang menentukan. Walau demikian, ini tidak menghentikan langkah kita, bukan ? Paling tidak anda punya sedikit petunjuk dalam introspeksi faktor2 mana yang tidak berkembang sesuai dengan harapan. Abilitykah ? Attitudekah ? Motivasikah ? Paling tidak anda tidak lagi awur2an dalam introspeksi. Paling tidak anda tidak lagi men-cari2 kambing hitam.
Wah, kok tambah ruwet ? Begitulah kenyataannya. Menjadi sukses gampang diucapkan tetapi dibalik itu banyak sekali faktor2 yang menentukan. Walau demikian, ini tidak menghentikan langkah kita, bukan ? Paling tidak anda punya sedikit petunjuk dalam introspeksi faktor2 mana yang tidak berkembang sesuai dengan harapan. Abilitykah ? Attitudekah ? Motivasikah ? Paling tidak anda tidak lagi awur2an dalam introspeksi. Paling tidak anda tidak lagi men-cari2 kambing hitam.
Lanjutken ke 10. Faktor Eksternal
0 komentar:
Post a Comment