Kita mengenal dua macam harga, harga tetap (fixed) dan harga luwes (flexible). Toko2 dan supermarket2 menganut harga tetap, pedagang pakaian pasar Senen menganut harga luwes. Mereka menawarkan harga sembarangan dan melepaskan pada harga diatas harga pokok. Sayapun menerapkan kebijakan harga luwes dalam bidang kontrakting. Kadang dengan harga bantingan dengan marjin tipis kompetisi ketat, kadang marjin tinggi jika koneksi bagus. Kadang marjin sangat tinggi untuk pekerjaan2 beresiko tinggi. Kadang, karena strategi kita banting harga ketika tahu bahwa calon pelanggan tukang ngemplang. Dengan membuat cacat teknis sehingga didiskualifikasi dan menjebak saingan yang menang supaya mereka sengsara.
Kalau mau mudah, tinggal pasang mark-up tetap tetapi itu membuat kita mudah ditebak pesaing. Repotnya, kita misalnya memberikan harga nego final 120, saingan menang karena harganya 119. Padahal, kita dengan harga 110pun sudah mau. Lain waktu kita bantingan dengan harga 109, ternyata pesaing kita yang paling rendah harganya 140. Andai tahu, kita pasang 139pun sudah menang. Masalah tambah ruwet karena ada pelanggan yang tak begitu peka dengan harga. Bantingan tidak ada mangpaatnya. Yang membuat sulit, kita tidak punya informasi berapa harga pesaing, berapa anggaran pelanggan, dll. Saya selalu terjebak dalam ketidak pastian. Mau pasang harga final berapa? Dari rentang 100-150, bisa 109, 123, 143, dst ? Berapa ? Tidak ada jalan lain kecuali menerapkan aji pengawuran.
Saya tidak sendirian. Andai yang lain dll, pada posisi saya, merekapun akan melakukan itu. Kira2 ! Artinya, bukan sifat saya untuk awur2an. Saya berada dalam situasi ketidak pastian. Dalam kebimbangan, gójag gajeg, dan dilanda keraguan karena serba salah. Takut terlalu tinggi atau terlalu rendah. Padahal ini saat menentukan. Dalam keresahan itu, tiba2 ….. bum ….. entah dari mana asalnya tiba2 saya mendapatkan suatu angka dan saya kunci negosiasi dengan angka itu.
Ada yang mengatakan itu memakai ‘feeling’. Itu kurang tepat karena feeling lebih untuk emosi, perasaan2, gelora hati, dll. Kata yang mungkin tepat adalah ‘intuisi’. Jadi saya berada dalam dua kemungkinan. Bisa memakai aji pengawuran, bisa pula dengan intuisi. Sebelum mendefinisikan intuisi, simaklah beberapa pendapat orang beken.
Often you have to rely on your intuition. ~ Bill Gates, in Adam Smith's Moneyworld (21 November 1987)
The only real valuable thing is intuition. Albert Einstein.
The primary wisdom is intuition. Ralph Waldo Emerson
The term intuition does not denote something contrary to reason, but something outside of the province of reason. C.G. Jung.
Trust your hunches. They're usually based on facts filed away just below the conscious level. Dr. Joyce Brothers.
Knowledge has three degrees—opinion, science, illumination. The means or instrument of the first is sense; of the second, dialectic; of the third, intuition. Plotinus
Kita memiliki tiga piranti : pancaindra + intuisi + akal. Dalam keseharian kita memakai yang dua yaitu akal & pancaindra. Intuisi jarang kita bicarakan karena hingga saat ini pengertian, proses, dan pengetahuan tentang intuisi belum jelas. Pendidikan mengajarkan kita untuk berpikir linier atau deduksi logika.
Deret sederhana 2, 4, 6, 8, ….. dst adalah proses linear. Ini yang disebut logika. Celakanya, dalam kehidupan tidak semuanya tampak linear.
Kalau mau mudah, tinggal pasang mark-up tetap tetapi itu membuat kita mudah ditebak pesaing. Repotnya, kita misalnya memberikan harga nego final 120, saingan menang karena harganya 119. Padahal, kita dengan harga 110pun sudah mau. Lain waktu kita bantingan dengan harga 109, ternyata pesaing kita yang paling rendah harganya 140. Andai tahu, kita pasang 139pun sudah menang. Masalah tambah ruwet karena ada pelanggan yang tak begitu peka dengan harga. Bantingan tidak ada mangpaatnya. Yang membuat sulit, kita tidak punya informasi berapa harga pesaing, berapa anggaran pelanggan, dll. Saya selalu terjebak dalam ketidak pastian. Mau pasang harga final berapa? Dari rentang 100-150, bisa 109, 123, 143, dst ? Berapa ? Tidak ada jalan lain kecuali menerapkan aji pengawuran.
Saya tidak sendirian. Andai yang lain dll, pada posisi saya, merekapun akan melakukan itu. Kira2 ! Artinya, bukan sifat saya untuk awur2an. Saya berada dalam situasi ketidak pastian. Dalam kebimbangan, gójag gajeg, dan dilanda keraguan karena serba salah. Takut terlalu tinggi atau terlalu rendah. Padahal ini saat menentukan. Dalam keresahan itu, tiba2 ….. bum ….. entah dari mana asalnya tiba2 saya mendapatkan suatu angka dan saya kunci negosiasi dengan angka itu.
Ada yang mengatakan itu memakai ‘feeling’. Itu kurang tepat karena feeling lebih untuk emosi, perasaan2, gelora hati, dll. Kata yang mungkin tepat adalah ‘intuisi’. Jadi saya berada dalam dua kemungkinan. Bisa memakai aji pengawuran, bisa pula dengan intuisi. Sebelum mendefinisikan intuisi, simaklah beberapa pendapat orang beken.
Often you have to rely on your intuition. ~ Bill Gates, in Adam Smith's Moneyworld (21 November 1987)
The only real valuable thing is intuition. Albert Einstein.
The primary wisdom is intuition. Ralph Waldo Emerson
The term intuition does not denote something contrary to reason, but something outside of the province of reason. C.G. Jung.
Trust your hunches. They're usually based on facts filed away just below the conscious level. Dr. Joyce Brothers.
Knowledge has three degrees—opinion, science, illumination. The means or instrument of the first is sense; of the second, dialectic; of the third, intuition. Plotinus
Kita memiliki tiga piranti : pancaindra + intuisi + akal. Dalam keseharian kita memakai yang dua yaitu akal & pancaindra. Intuisi jarang kita bicarakan karena hingga saat ini pengertian, proses, dan pengetahuan tentang intuisi belum jelas. Pendidikan mengajarkan kita untuk berpikir linier atau deduksi logika.
Deret sederhana 2, 4, 6, 8, ….. dst adalah proses linear. Ini yang disebut logika. Celakanya, dalam kehidupan tidak semuanya tampak linear.
Lanjutken ke 2. Lompatan Intuisi
0 komentar:
Post a Comment